0

Cerpen baru! ( Tommorow Never Comes)

Postingan berikutnya berupa cerpen, yang judulnya "Tommorow Never Comes".

Ketika seseorang yang kau beri sedikit harapan, memungutnya lalu mencampakkannya.
Apa kau bisa terima?
Jika dia lakukan berulang kali tanpa menyadari perasaan mu, masih kah termaafkan?
Mau kah dia bersamamu untuk hari ini saja, karena sebenarnya kau tahu, untuk mu tiada hari esok.

"To say each day how much you means to him"

0

photograph (by My Dad)

lupa nama tanemannya sejenis paku kayaknya -_-
what do you think about it?









hahaha i loved it!
My  dad is the best photographer
xoxoxo










On The Way

when i was stay in Padang Pelawi.
Great place to breathe haha ..
breathe in breathe out O_O

2

contoh cerpen 'waiting for yesterday'


Waiting For Yesterday

           

            Pernakah kau sakit karena cinta?, cintaku layaknya bubur yang tak bisa menjadi beras kembali. Jika kau punya cinta, jangan tinggalkan cinta yang sudah kau jaga, karena aku sudah merasakan perih karenanya.
            Dulu aku tinggal disebuah desa yang bernama desa Grander, didesa ini aku mempunyai sahabat bernama Junno. Aku sangat dekat dengannya, saat aku sedih ia selalu hadir membawa sejuta senyum, dan kata-kata pembangkit semangat hatiku. Sebuah pohon beringin tua menjadi saksi cinta pertamaku. Kami memiliki cita-cita yang berhubungan. Junno bercita-cita membuat sekolah militer, dan sekolah umum, sedangkan aku bercita-cita menjadi seorang guru yang akan mengajar disekolah yang akan ia buat. Dua buah botol yang kami masukan secarik kertas didalamnya, kami letakkan didalam pohon itu yang berlubang, dan berjanji ketika aku kembali kami akan membukanya.
            Saat aku berumur 20 tahun, aku harus berpisah dengan Junno, aku berjanji akan kekota untuk sekolah keperguruan tinggi dengan jangka waktu tiga tahun, dan setelah aku resmi menjadi guru, aku akan kembali kedesa itu. Keluaragaku ikut pindah kekota, aku sangat semangat untuk belajar karena cita-citaku adalah menjadi Guru bahasa Afrika. Surat yang dikirimkan oleh Junno selalu kubalas, aku selalu menantikan balasan surat darinya.
            Tiga tahun kulewati dengan penuh rasa bahagia, namun aku tak sesemangat tahun lalu, karena aku belum mendapatkan balasan surat dari Junno. Saat hari kelulusan aku sedikit kurang bersemangat. Orangtuaku memberi semangat, namun bagiku semangat dari Junno adalah semangat yang paling ampuh membuat hatiku selalu tegar. Hari-hari yang kutunggu akhirnya tiba, dimana saat aku akan bertemu Junno didesa Grander. Namun disayangkan aku tertinggal kereta, dan terpaksa menunggak 4 hari.
            Seorang pak pos memberi senyum lebar padaku, tanganku gemetar mendapat surat. Apakah itu dari Junno?, sayangnya tidak itu surat dari Tn. Folner, ia menawariku pekerjaan mengajar disekolah Afrika, karena mereka banyak buta huruf. Aku anak tunggal dan aku wajib membanggakan Orangtuaku, anak-anak diAfrika juga harus kubantu dan kupikir Junno tak peduli lagi padaku. Akhirnya aku menerima tawaran Tn. Folner. Aku sekeluarga pindah keAfrika, aku mendapat rumah dan sepedah. Dua tahun setengah aku mengajar disana. Orangtuaku terlanjur betah, jadi hanya aku yang akan kembali kedesa Grander. Dan kali ini aku tak tertinggal kereta.
            Satu koper besar kudorong dengan perlahan, kereta kuda menghampirku, dan akupun menaikinya. Ketika sampai didesa aku sangat terkejut, desa yang kucintai sudah hangus terbakar, aku hanya terdiam sejenak. Dibenakku wajah Junno masih menghantuiku. “Dimana dia?”, hatiku terus bertanya-tanya. Seorang pria tua menggunakan tongkat, tangan kirinya hangus, dia membuka pintu perlahan aku mencoba mendekatinya, namun ia malah menutup  pintu rumahnya yang setengah hangus itu.
            “Pergi!” teriaknya kasar.
            “Aku bukan orang jahat”
            “Kau pasti yang menyuruh perompak membakar desa inikan!”
            “Tidak, aku mencari Junno, dimana dia? Katakan!” kataku sambil menangis.
            Dia membuka pintunya yang reot dengan perlahan, ia menundukkan kepalanya. Aku menghapus air mataku.
            “Maaf Nyonya apa anda tadi bilang Tuan Junno?”
            Aku menganguk, masih ada harapan aku bertemu dengannya. Namun harapanku luluhlantak. Ketika tahu kabar bahwa Junno sudah tiada. Aku berlari sambil menghapus air mataku. Koperku kutinggalkan begitu saja, tak peduli apa yang akan terjadi nanti.
            Sekolah yang megah dindingnya menghitam dan sebuah plang nama sekolah yang sudah lepas. Langkahku berhenti disebuah rumah, dimana rumah itu adalah rumah Junno. Aku terduduk ditanah yang hitam legam itu, air mataku mengalir begitu deras, deras sehingga bibirku dapat menyentuhnya. Aku berdiri dengan sedikit tenagaku.
            Aku berjalan mengintari rumah Junno, dinding yang dulu bewarna putih kini sudah hitam legam. Aku mengintari taman dan berhenti disebuah ayunan, masa laluku terukir diayunan yang sudah hangus. Dan senyumku sedikit terlihat melihat bunga yang aku tanam bersamanya, kini tumbuh berseri layaknya cinta yang aku jaga, namun aku  sendiri yang merusaknya. Andai aku tak menerima tawaran mengajar di Afrika mungkin aku sudah bersamanya.
            Aku petik bunga itu perlahan, aku merasakan bunga itu tampak segar, tak seperti keadaan yang sudah dialaminya. Aku berjalan membawa bunga itu mengintari tempat bermainku. Pohon bringin itu masih kokoh dan tak terkena kobaran api. Dan aku teringat botol pesan, aku mengorek dalam pohon itu namun aku malah menemukan 3 botol bukan 2 botol. Aku mengeluarkan pesan yang kelihatannya belum tua, namun pesan itu semakin membuatku hancur.

15 Febuari 1902

        Ay, mengapa tak membalas suratku, maaf aku menunggak beberapa bulan tak mengirim surat padamu, karena aku sedang sakit, namun tahukah kau, suratmu bagiku adalah penyemangat, kutunggu janjimu, namun mengapa kau tak datang ?
        Kabar angin, desa ini akan didatangi  Perompak. Aku akan berusaha melindungi desa ini, walau umurku tak akan panjang, aku hanya menunggu waktu aku akan dicabut nyawa. Aku bersyukur kau tak hadir saat ini, karena aku tak jamin akan melindungimu selamanya. Maaf aku telah membaca suratmu.
        Aku tak tahu kapan kau akan datang kesini tapi aku yakin kau akan hadir dan membaca surat ini. Aku memang akan pergi, tapi aku selalu akan melihat mu, dan menjagamu. Hiduplah dengan orang yang akan terus menjagamu, ku do’akan kau bahagia. Bila kau rindu padaku, pandanglah langit, disitu aku akan selalu memandang mu.
                                                                        Junno        

          Air mataku semakin deras dan saat itu aku memandang langit luas, wajah Junno terlihat dianganku. Dan akhirnya aku membuka surat dari botol yang lain, dan itu surat dari Junno.    





28 Desember  1882

        Ay, aku ingin menjadi pemimpin desa ini, dan membangun sekolah militer serta membangun sekolah umum. Dan saat aku dewasa aku ingin hidup bersamamun, karena aku menyayangimu Ay. Aku ingin bersamamu selamanya.
                                                                        Junno
         
          Isi hatiku dengan Junno sama, namun aku tak memberi tahunya, aku sangat menyesal mengapa aku tak datang didetik terakhir bersamanya, dan aku belum menyatakan perasaanku padanya, andai waktu dapat diputar aku akan mengungkapkan semuanya padamu, Junno.
            Suatu hari nanti bila aku bertemu denganmu, aku ingin minta maaf aku tak dapat menjaga  janji yang kita ucapkan, dan kenangan yang pernah kita ukir akan kuceritakan. Bunga yang kita tanam akan terus tumbuh hingga akhir hayatnya dan bila bunga itu mati bukan berarti cinta kita mati. Dunia akan menjadi saksi akan cinta kita yang pernah terjalin. Junno berjanjilah bila kita bertemu ditempat yang indah, kau mau bacakan isi surat yang pernah kau tulis, karena aku ingin mendengarnya langsung   dari mulutmu, Junno. Akan kutepati janjiku, bila kita bertemu lagi, Junno. Dan aku tetap menunggu untuk hari sebelum hari ini  ‘waiting for yesterday’.


0

Waiting For Yesterday- David Archuleta


Waiting For Yesterday lyrics


You and me, all alone, girl
What's going on?
Would you tell me what's wrong?
It's like you're locked up in your own world
Ooh, with nothin' to say

You keep me guessing but I see in your eyes
He made you promises but gave you lies
You're shutting down because you're so sure
That I'll be another mistake

Reef:
I know that he left you in pieces
You know that I won't be that way
I'm not gonna treat you like he did
Ooh, whatever it takes

You think history is repeated
You keep on pushing me away
Oh, but nothing's gonna change
Waiting for yesterday

Is it worth it any longer?
So scared of falling again
Yesterday can make you stronger
So, why do you feel alone?

You know I love better than he ever did
This could be all you ever needed
Hold onto me and just remember
Ooh no, never let go............


I know that he left you in pieces
You know that I won't be that way
I'm not gonna treat you like he did
Ooh, whatever it takes.........

You think history is repeated
You keep on pushing me away
Oh, but nothing's gonna change
Waiting for yesterday

I'm the one for you tonight
I'm the one for you forever
If it takes a little time
(Whatever it takes)

I'm the one for you tonight
I'm the one for you forever
If it takes a little time
(Whatever it takes)

I know that he left you in pieces
You know that I won't be that way
I'm not gonna treat you like he did
Ooh, whatever it takes

You think history is repeated
You keep on pushing me away
Oh, but nothing's gonna change
Waiting for yesterday

I know that he left you in pieces
You know that I won't be that way
I'm not gonna treat you like he did
Ooh, whatever it takes.....

You think history is repeated
You keep on pushing me away
Oh, but nothing's gonna change
Waiting for yesterday.....
                                                                 David Archuleta


0

jejak-jejak kecil


Prolog
Jejak-Jejak Kecil


        
           Gadis kecil itu berdiri, dihadapan batu nisan yang tak bernama. Sesekali ia menghapus air matanya, tak ada yang menemaninya, ia sendiri, ia menangis sendiri. Angin dingin menerpa tubuhnya yang sedikit rapuh, terdengar suara percikan air . Gadis itu masih berdiri, dia masih memandangi batu nisan itu.
        Tangan kecilnya bergerak perlahan sembari menaburi nisan itu dengan bunga. Tak ada yang melihatnya bahkan tidak ada yang perduli.       Ia menaburi batu nisan itu dengan air matanya yang bercucuran, ia berusaha membendung air mata yang akan jatuh untuk kesekian kalinya.
        Langit mulai semakin menghitam, suasana semakin sepi, gadis itu masih berdiri, gadis itu masih berdiri disana. Ia seperti sedang menunggu, seperti menunggu sesuatu yang tak pasti. Langit menghentakkan pedang-pedang kilat, menjatuhkan jutaan airmata, namun dia masih berdiri, ia berdiri dengan kokohnya.
        Tubuhnya basah, hujan seakan tak sadar bahwa ia benar-benar kedinginan. Alam seakan tak memanggil namanya untuk menjauh,  ia seakan terlahir benar-benar sendiri. Lidah api menghujani langit hitam kelam, tidak ada siapa-siapa disini. Kenapa ia tak takut? Kenapa ia tak pergi? Apakah ia tak tahu sebenarnya ia ada dimana?.
        Dear, itu kata yang terdengar setelah seorang pria yang baru saja datang berdiri dibelakangnya. Pria itu benar-benar terlambat,  pria itu sangat terlambat. Gadis itu benar-benar seperti  menunggu, saat kedua mata itu bertemu, ia langsung jatuh dalam pelukan pria itu.
        Hujan benar-benar tidak memandang apa yang ada dibawah saat itu. Air mata gadis itu menyatu dengan tetesan air hujan.  Pria itu mendekapnya dengan sangat erat, sangat erat, seakan-akan ia berkata bahwa ia tak ingin kehilangan gadis itu.
        Mereka memandang nisan itu dengan sebuah tatapan kehancuran, apa yang mereka rasakan sebenarnya? Siapa yang dimakamkan dimakam itu? . Tak ada ucapan atau sedikit perkataan diantara mereka, mereka langsung pergi dan meninggalkan makam itu.
        Hujan benar-benar menggambarkan isi hati mereka. Langkah kaki rapuh itu semakin menjauh, menyisakan jejak-jejak kecil yang pasti akan hilang terhapus air hujan.

3

story story

hei, kakak itu loh :D
tadi larinya gk kecapekan :D
0

cerpen




Like falling star
                                                                                                                        
“Apakah hari ini jauh lebih buruk dari kemarin?”
*                                                  *                                                     *

Apa dayaku? Aku hanya seorang laki-laki dengan badan kurus dan nafas yang tersenggal-senggal.  Menghirup udara dari tabung-tabung oksigen, menjatuhkan diri disaat pelajaran olahraga, dan sering kali pingsan di wc sekolah, bahkan sudah 3 kali masuk UGD. Yang paling menjengkelkan,  memenuhi tas ku dengan obat, dan alat bantu pernapasan.
Hari ini adalah hari dimana aku meninggalkan seluruh obatku, alat bantu pernapasanku, dan semuanya kecuali pakaian yang kukenakan ini, dan dompetku juga. Tak lupa juga kacamata hitam besar, yang mencerminkan aku sebagai anak culun.  Aku benar-benar ingin bebas, ini memang pertama kalinya aku kabur dari rumahku. Meninggal kan Ibu ku, mobilku, dan juga tabung oksigen yang hampir memenuhi kamarku.
Aku hanya mengantongi beberapa lembar uang kertas, dan tak lupa ATM. Sungguh tololnya diriku, aku hampir membayar bus umum dengan kartu kredit. Ketika aku ingin membayarnya dengan uang kertas, sepertinya dia tak punya kembalian. Mungkin yang diperlukannya beberapa sen uang receh.
Dengan jelas, bus ini tiba diperhentian, mereka membiarkanku tak membayar dengan alasan “ kasihan dia, lihat badannya kurus sekali”. Sedikit kontra, aku melempakan uang kertasku yang bernilai besar kedepan kenek bus itu sembari berteriak “aku bisa bayar lebih”. Kini aku harus turun, dan memandang disekelilingku, “ini terminal bus atau pasar?”.
Seekor tikus berlari dihadapanku, badannya sebesar anak kucing,  pasar ini benar-benar seperti pembuangan sampah. Bagaimana mereka bisa hidup diantara keluarga-keluarga tikus yang makmur?.  Apa mereka dan tikus hidup berdampingan?. Seseorang berlari menabrakku, bajunya kumal, dan terlihat kukunya menghitam.  Tunggu, dia seperti memegang sesuatu dan itu adalah dompetku. Aku berusaha mengejar dan meraih orang itu dikeramaian pasar. Pasar ini seperti lautan manusia yang merebutkan  emas gratis.
Pria itu hilang, dikeramaian pasar. Aku merasakan, sesuatu menjalar ditubuhku, sekujur tubuhku serasa kaku, nafasku serasa terhenti. Aku terjatuh diatas tanah becek berwarna hitam, dan saat itu pandanganku mulai hitam dan semakin hitam. Hingga aku tak dapat melihat apapun.
Setitik cahaya menyinari ku dari kejauhan, memaksa mata ini agar terbuka. Aku membuka mata ini perlahan, tercium bau keju busuk menyengat dihidungku.  Aku respek terbangun, 2 pasang mata mengamatiku. Mereka seakan  sedang menanti  jawaban.
“Dimana ini? Bau apa ini?” ucapku sembari mengernyitkan dahi.
“Ini rumah kami, dan ibu sedang memasak, baunya sangat lezatkan?”  gadis itu mengakhiri kata-katanya dengan senyuman.  Aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman kecil.
Aku melirik kearah jendela, dan bisa kulihat langit malam terlihat begitu jelas, dan suara-suara dari tetangga terdengar nyaring.  Mataku menelusuri setiap sudut ruangan ini. Apa ruangan ini  sebagai kamar, ruang tamu, ruang makan, ruang keluarga.  Kepalaku terasa berat, dan aku masih sedikit pusing, namun bagaimana mereka bisa menyelamatkanku? Apa mereka mempunyai tabung oksigen. Jawabannya adalah tidak, mereka meminjam alat bantu pernapasan milik tetangga mereka yang juga terkena asma.
Seorang gadis datang dengan berpakaian laki-laki, berlari kearah dapur. Terdengar kegaduhan yang membuat mataku terpancing.
                “Ibu lihat aku bawa makanan” ucap gadis itu.
“Kau pasti mencopet lagi ya? Dasar anak bodoh, mau ibu pukul ya?” terdengar suara pukulan keras, diikuti suara merintih kesakitan.
“Maaf bu aku tak akan ulangi lagi”
“Cepat kembalikan, dan buang makanan itu”  ibu itu mengakhiri nada tinggi suaranya dengan bunyi osengan panci.
Gadis itu berjalan kearahku, dan  matanya terpaku melihatku.  Dia mendekatiku, sambil memandangi baju yang kukenakan, dan akhirnya dia berbicara sesuatu. “Kau! ini dompetmu, maaf aku hanya menggunakan selembar uang kertasnya tidak lebih” ia menundukkan kepalanya  sambil meyodorkan dompetku. Tangannya terlihat habis dipukul berkali-kali dengan rotan.
Aku mengambil dompet itu sembari berkata, “kau mau seluruh uang ini?”. Wajahnya mendongak, dan menatapku seakan penuh tanda tanya.  “untukku?” tanyanya. Aku hanya mengganguk, dan berkata  “antarkan aku keperumahan Grandvil”.
Semuanya menatap ku kaget, apa aku salah bicara, atau apa. Mereka mengulang kata Grandvil berkali-kali hingga akhirnya salah satu dari mereka keluar dan memanggil tetangga yang mempunyai sepeda.   Tidak sampai 5 menit, gadis itu membawa masuk sepeda ontel tua dengan karat dimana-mana.
“Ayo, naik cepat nanti Ibu tidak mengizinkan ku keluar” ucapnya.
Selang beberapa detik gadis itu mengucapkannya, sang ibu keluar dengan rotan panjang ditangan kirinya, dan spatula ditangan kanannya. Mataku terbelalak, aku segera mengambil  tindakkan.  Aku tak ingin gadis ini lebih menderita lag, dan mungkin saja aku akan tertahan dirumah ini sampai pagi.
“Terima kasih bu atas tumpangannya, aku harus pulang” ucapku.
“Sama-sama, sudah mau pulang? ” balasnya.
Aku hanya mengangguk dan kucium kedua tangan ibu itu, bau aneh tercium dan sedikit menggangu hidungku. Sepeda ontel ini bagaikan sebuah mobil bagi tempat seperti ini. Aku duduk ragu dibelakang gadis ini, pikiranku berkata, “dia wanita atau laki-laki”.
Dia mengayuh sepeda dengan sangat kencang, kerlap-kerlip lampu malam begitu terlihat. Gadis ini mengayuh sangat cepat, hingga akhirnya kami berhenti disebuah turunan tinggi, terjal melintang. Aku berpegangan erat padanya, ia mengayuh sepeda sangat cepat, serasa badan ini terbang dan saat itu aku ingin berteriak “bebas” namun aku takut dibilang orang gila.
Gadis itu memberhentikan sepedanya didepan perumahan Grandvil, dia tak berani masuk atau bertemu satpamnya. Aku ambil bagian, aku turun dan sebelum aku mengucapkan beberapa kata, pintu gerbang sudah terbuka lebar. Aku kembali duduk dibelakangnya, dan ia mengayuh sepeda dengan kecepatan tinggi.
Kami berdiri didepan gerbang rumahku, satpam rumahku berteriak, dan Ibuku langsung  menyambutku dengan sebuah pelukan. “Kemana saja kau sayang, ibu sangat khawatir” mata ibu terlihat sembab habis menangis. Aku jatuh dalam pelukkannya.
“Siapa dia, mengapa kau tak naik taksi sayang, nanti badanmu kotor dan bau” ucap ibu.
Ekspresi gadis itu berubah drastis, wajahnya melipat dan kepalanya menunduk. Aku menyodorkan segenggam uang padanya, namun ia malah memutar arah sepedanya dan pergi. Aku meneriakinya, namun tak ada jawaban, dia akhirnya hilang dibalik kegelapan.
Pandangan ku kembali kabur, angin malam memang tak cocok dengan tubuhku yang lemah ini, semua serasa menghitam dan semakin menghitam, hingga akhirnya aku harus terjatuh lagi, dan kali ini aku benar-benar merasa tak bernyawa.
        *                                                  *                                                     *

                “Apakah hari ini jauh lebih buruk dari kemarin?”
                Mataku terpaku melihat pasar yang hangus, dilumat api. Tak terlihat tanda kehidupan, hanya garis polisi yang terlihat jelas. Mengapa aku disini, Kenapa  aku serasa kembali ketempat dimana aku merasa nyaman,  apa aku melupakan sesuatu?. Aku berlari mengintari tempat itu, dan aku menangis. Tapi aku tak tahu aku menangis untuk apa dan unuk siapa?.
Tuhan sebenarnya apa yang telah terjadi disaat aku koma selama 1 bulan?  Aku takut melupakan semuanya, seperti bintang jatuh.                                                                                           
                                   
                                                                                                 Bila

0

umbrella

0

vulnerable -secondhand serenade

0

i love david archuleta

0

A little too not over you ;reff

0

the dark sky

0

why?

0

alone lonely

Siguiente Anterior Inicio

Memories