0

contoh cerpen

Feel
     

           
            Sayap-sayap rapuh ini sudah tak dapat dipakai lagi, dan air mata ini sudah bukan menjadi obat penghilang rasa pedih. Kini kumulai hidup dari rapuh yang kan berakhir menjadi kuat.”
            Aku menutup rapat buku harian itu berharap tak ada yang membacanya. Tangan lembut menyentuh wajahku dan meraba secara perlahan. Aku menepisnya. Tangan itu merekah dan menjauh. Kupandangi wajah sesosok anak kecil yang terus menatap kearah depan. Senyum merekah diwajahnya, sinar matahari menimpah wajahnya yang kaku. Aku baru menyadari ternyata dia buta.
             Angin meniup dengan perlahan menerbangkan rambutnya yang halus. Air matanya mengalir dan ia terisak. Kupandangi wajahnya dalam-dalam, kugerakan jemari-jemariku dihadapannya.
            “Percuma kau gerakkan, bayangan tanganmu sama sekali tak terlihat”
            Jemari tanganku mengatup, aku terdiam memandanginya sejenak. Dia memang buta tapi begitu kuatkah perasaannya.
            “Aku senang sekali kau tak menagis, tapi malah aku yang menangis” ucapnya lembut.
            Suara lembutnya hampir senada dengan bunyi ranting-ranting pohon, hingga suara itu nyaris tak terdengar. Aku merapatkan diri padanya, dia menghapus air mata yang terus berjatuhan seakan tangannya tak merasa lelah. Aku ingin menghapus air matanya dengan jemariku namun ia menepis sebelum kuhapus.
            “Kau tak merasa lelah terus duduk dan memandangku kosong”
            “Tidak” ucapku.
            Dia menyeka air matanya dan meraba wajahku dengan sangat lembut.
            “Indah sekali namun keindahanmu akan pudar, mengapa kau merasa terluka?”
            Aku hanya terdiam, dia seakan bisa membaca isi hatiku yang sudah kukunci rapat. Aku memasukkan buku harianku kedalam tas kecil berwarna jingga.
            “Padahal kau takkan merasa luka, jika kau takkan merasakannya. Mengapa kau pura-pura tegar padahal dirimu sendiri saja lemah”
            Aku terdiam, ingin rasa kututup telinga ini rapat-rapat dan aku ingin berlari sekencang-kencangnya. Namun perasaan hatinya sangat kuat, membuat aku sadar bahwa mata hatinya yang bisa melihat.
            Kupandanginya dari jauh, ia berjalan menggunakan tongkat tua yang rapuh, dirinya seakan hafal dengan jalur apa yang akan dia lewati. Hatiku mulai tergerakkan, ingin rasa kutuntun ia sampai tujuannya. Namun Chris sekarang sudah hadir dihadapanku dan akan mengajakku pergi dari tempat ini.
            Aku menghilang dihadapannya dalam waktu beberapa detik saja. Chris sudah menggengam tangan ini dengan erat. Rasanya aku ingin melepaskan genggaman tangan ini, namun tangannya begitu terasa hangat. Membuat jiwa ini seakan jatuh dalam dunianya.
            Aku larut dalam kisah pendekku ini, menghabiskan waktu bersama Chris merupakan hal yang terindah bagiku. Kenangan masa lalu tentang Ray sudah kulupakan, itu ucap mulutku. Namun bayangan tentangnya seakan menyatu dalam darahku dan tak kan hilang begitu saja. Aku hanya bisa melukai perasaan Chris yang sangat tulus mencintaiku dan aku tak bisa menerimanya sebagai pengganti Ray dalam hidupku.
            Jiwaku seakan tertekan, dan buku harianku sudah penuh dengan tulisan-tulisan yang selalu menjatuhkan diriku. Terlelap aku dalam kisahku, menunggu jiwa ini tergerakan lagi.
                                   
*           *           *

            Aku merapatkan tubuhku dengan sebatang pohon cemara yang sudah tua. Air mataku mulai jatuh perlahan senada dengan hembusan angin yang terus menerpa tubuhku yang kaku. Hatiku terasa sobek, ingin rasanya aku berdiri didepan nisanmu sambil mengatakan isi hatiku. Saat aku kemakammu saja mata ini sudah melihat banyak hal yang aneh.
            Namun apa daya diriku, aku begitu rapuh dan kau meninggal tanpa jasad, karena kutahu itu salahku, yang kulihat saat penguburan hanya nisan saja bukan dirimu. Haruskah aku mati menjemput dirimu, jiwaku sangat rapuh. Suara pelan menghancurkan keheninganku.
            “Kakak”
            Aku tersentak kaget, melihat sosok anak kecil yang kemarin, tanpa tongkatnya. Dia malah berlari kearahku dan jatuh dalam pelukkanku. Kurasakan hawa hangat menusuk tubuhku, dan gadis kecil itu menangis dalam pelukku. Entah apa yang dia ucapkan namun terdengar samar.
            “Kenapa kau selalu menangis ketika bertemuku?” tanyaku.
            “Tak perlu tahu, tapi kau mau temani aku. Aku mau kalau aku mati akan indah jika ada kau juga” ucapnya.
            Seketika aku menjerit seperti orang yang kehilangan akal, dan kusadari masih ada dia sambil tertawa.
            “Aku senang bila aku mati, Ayah tak perlu lelah mengurusiku, dan aku akan melihat Ibu disurga” ucapnya. “Harusnya kau juga ikut senang kalau kau mati kau tak perlu merasa sakit”
            “Aku punya Chris dan dia sangat mencintaiku, bukannya kau juga tak mau melukai perasaan orang yang kau cintai?”
            Dia tertawa seketika. Membuat aku berpikir dia sudah tak waras.
            “Cinta apa yang Ayah berikan?  Tak ada yang butuh aku”
            Gadis itu berdiri dan terjatuh.
            “Tak adakah orang yang kau cintai? Kau yakin dirimu tak berguna? Tapi kau yang menyadarkan aku dan kau membuat mata hatiku terbuka”
            Gadis itu hanya terdiam, rambutnya berantakkan dan baju yang ia pakai sudah kumal.
            “Aku benci dituntun, aku benci diperhatikan, aku benci”
            “Bukankah berarti ada yang peduli padamu?”
            Gadis itu menangis, dengan kencang. Aku tersenyum lebar. Aku yakin ia mulai sadar kalau ada yang butuh dirinya. Aku menghapus air matanya dan dia menyentuh wajahku.
            “Kau habis menangis” ucapnya.
            Aku tersenyum, kupeluk dia dengan erat. Gadis itu mengusap keningku, dia duduk disampingku sambil menghapus air matanya. Hingga akhirnya Chris sudah berdiri dihadapanku dan mengelus keningku dengan sangat lembut. Aku menangis, dan sosok Ray berdiri dibalik tubuh Chris, mataku seketika terpejam.
            “Maaf Chris aku masih mencintai Ray”
            Chris berdiri kaku, mematung. Air mataku terus menetes. Aku masih terus merasa bahwa Ray masih berdiri dibelakangnya. Gadis itu mengangkat kedua tangannya dan sedikit tersenyum.
            “Indah” ucapnya.
            Aku membuka mataku, Ray sudah tak ada yang sekarang ada hanya aku, gadis itu dan Chris yang mematung.
            “Memang sejak awal tak ada tempat untukku”
            Aku menepis wajahnya dan dadaku seakan terguncang. Air mataku memang bukan pengobat luka. Chris hanya diam dan tersenyum.
            “Chris...relakah kau melihatku semakin terluka”
            Chris berbalik badan dan akhirnya meninggalkan aku pergi, hembusan angin begitu terasa. Jantung ini seakan remuk dan hancur.
*           *           *
Siguiente Anterior Inicio

Memories