0

cerpen




Like falling star
                                                                                                                        
“Apakah hari ini jauh lebih buruk dari kemarin?”
*                                                  *                                                     *

Apa dayaku? Aku hanya seorang laki-laki dengan badan kurus dan nafas yang tersenggal-senggal.  Menghirup udara dari tabung-tabung oksigen, menjatuhkan diri disaat pelajaran olahraga, dan sering kali pingsan di wc sekolah, bahkan sudah 3 kali masuk UGD. Yang paling menjengkelkan,  memenuhi tas ku dengan obat, dan alat bantu pernapasan.
Hari ini adalah hari dimana aku meninggalkan seluruh obatku, alat bantu pernapasanku, dan semuanya kecuali pakaian yang kukenakan ini, dan dompetku juga. Tak lupa juga kacamata hitam besar, yang mencerminkan aku sebagai anak culun.  Aku benar-benar ingin bebas, ini memang pertama kalinya aku kabur dari rumahku. Meninggal kan Ibu ku, mobilku, dan juga tabung oksigen yang hampir memenuhi kamarku.
Aku hanya mengantongi beberapa lembar uang kertas, dan tak lupa ATM. Sungguh tololnya diriku, aku hampir membayar bus umum dengan kartu kredit. Ketika aku ingin membayarnya dengan uang kertas, sepertinya dia tak punya kembalian. Mungkin yang diperlukannya beberapa sen uang receh.
Dengan jelas, bus ini tiba diperhentian, mereka membiarkanku tak membayar dengan alasan “ kasihan dia, lihat badannya kurus sekali”. Sedikit kontra, aku melempakan uang kertasku yang bernilai besar kedepan kenek bus itu sembari berteriak “aku bisa bayar lebih”. Kini aku harus turun, dan memandang disekelilingku, “ini terminal bus atau pasar?”.
Seekor tikus berlari dihadapanku, badannya sebesar anak kucing,  pasar ini benar-benar seperti pembuangan sampah. Bagaimana mereka bisa hidup diantara keluarga-keluarga tikus yang makmur?.  Apa mereka dan tikus hidup berdampingan?. Seseorang berlari menabrakku, bajunya kumal, dan terlihat kukunya menghitam.  Tunggu, dia seperti memegang sesuatu dan itu adalah dompetku. Aku berusaha mengejar dan meraih orang itu dikeramaian pasar. Pasar ini seperti lautan manusia yang merebutkan  emas gratis.
Pria itu hilang, dikeramaian pasar. Aku merasakan, sesuatu menjalar ditubuhku, sekujur tubuhku serasa kaku, nafasku serasa terhenti. Aku terjatuh diatas tanah becek berwarna hitam, dan saat itu pandanganku mulai hitam dan semakin hitam. Hingga aku tak dapat melihat apapun.
Setitik cahaya menyinari ku dari kejauhan, memaksa mata ini agar terbuka. Aku membuka mata ini perlahan, tercium bau keju busuk menyengat dihidungku.  Aku respek terbangun, 2 pasang mata mengamatiku. Mereka seakan  sedang menanti  jawaban.
“Dimana ini? Bau apa ini?” ucapku sembari mengernyitkan dahi.
“Ini rumah kami, dan ibu sedang memasak, baunya sangat lezatkan?”  gadis itu mengakhiri kata-katanya dengan senyuman.  Aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman kecil.
Aku melirik kearah jendela, dan bisa kulihat langit malam terlihat begitu jelas, dan suara-suara dari tetangga terdengar nyaring.  Mataku menelusuri setiap sudut ruangan ini. Apa ruangan ini  sebagai kamar, ruang tamu, ruang makan, ruang keluarga.  Kepalaku terasa berat, dan aku masih sedikit pusing, namun bagaimana mereka bisa menyelamatkanku? Apa mereka mempunyai tabung oksigen. Jawabannya adalah tidak, mereka meminjam alat bantu pernapasan milik tetangga mereka yang juga terkena asma.
Seorang gadis datang dengan berpakaian laki-laki, berlari kearah dapur. Terdengar kegaduhan yang membuat mataku terpancing.
                “Ibu lihat aku bawa makanan” ucap gadis itu.
“Kau pasti mencopet lagi ya? Dasar anak bodoh, mau ibu pukul ya?” terdengar suara pukulan keras, diikuti suara merintih kesakitan.
“Maaf bu aku tak akan ulangi lagi”
“Cepat kembalikan, dan buang makanan itu”  ibu itu mengakhiri nada tinggi suaranya dengan bunyi osengan panci.
Gadis itu berjalan kearahku, dan  matanya terpaku melihatku.  Dia mendekatiku, sambil memandangi baju yang kukenakan, dan akhirnya dia berbicara sesuatu. “Kau! ini dompetmu, maaf aku hanya menggunakan selembar uang kertasnya tidak lebih” ia menundukkan kepalanya  sambil meyodorkan dompetku. Tangannya terlihat habis dipukul berkali-kali dengan rotan.
Aku mengambil dompet itu sembari berkata, “kau mau seluruh uang ini?”. Wajahnya mendongak, dan menatapku seakan penuh tanda tanya.  “untukku?” tanyanya. Aku hanya mengganguk, dan berkata  “antarkan aku keperumahan Grandvil”.
Semuanya menatap ku kaget, apa aku salah bicara, atau apa. Mereka mengulang kata Grandvil berkali-kali hingga akhirnya salah satu dari mereka keluar dan memanggil tetangga yang mempunyai sepeda.   Tidak sampai 5 menit, gadis itu membawa masuk sepeda ontel tua dengan karat dimana-mana.
“Ayo, naik cepat nanti Ibu tidak mengizinkan ku keluar” ucapnya.
Selang beberapa detik gadis itu mengucapkannya, sang ibu keluar dengan rotan panjang ditangan kirinya, dan spatula ditangan kanannya. Mataku terbelalak, aku segera mengambil  tindakkan.  Aku tak ingin gadis ini lebih menderita lag, dan mungkin saja aku akan tertahan dirumah ini sampai pagi.
“Terima kasih bu atas tumpangannya, aku harus pulang” ucapku.
“Sama-sama, sudah mau pulang? ” balasnya.
Aku hanya mengangguk dan kucium kedua tangan ibu itu, bau aneh tercium dan sedikit menggangu hidungku. Sepeda ontel ini bagaikan sebuah mobil bagi tempat seperti ini. Aku duduk ragu dibelakang gadis ini, pikiranku berkata, “dia wanita atau laki-laki”.
Dia mengayuh sepeda dengan sangat kencang, kerlap-kerlip lampu malam begitu terlihat. Gadis ini mengayuh sangat cepat, hingga akhirnya kami berhenti disebuah turunan tinggi, terjal melintang. Aku berpegangan erat padanya, ia mengayuh sepeda sangat cepat, serasa badan ini terbang dan saat itu aku ingin berteriak “bebas” namun aku takut dibilang orang gila.
Gadis itu memberhentikan sepedanya didepan perumahan Grandvil, dia tak berani masuk atau bertemu satpamnya. Aku ambil bagian, aku turun dan sebelum aku mengucapkan beberapa kata, pintu gerbang sudah terbuka lebar. Aku kembali duduk dibelakangnya, dan ia mengayuh sepeda dengan kecepatan tinggi.
Kami berdiri didepan gerbang rumahku, satpam rumahku berteriak, dan Ibuku langsung  menyambutku dengan sebuah pelukan. “Kemana saja kau sayang, ibu sangat khawatir” mata ibu terlihat sembab habis menangis. Aku jatuh dalam pelukkannya.
“Siapa dia, mengapa kau tak naik taksi sayang, nanti badanmu kotor dan bau” ucap ibu.
Ekspresi gadis itu berubah drastis, wajahnya melipat dan kepalanya menunduk. Aku menyodorkan segenggam uang padanya, namun ia malah memutar arah sepedanya dan pergi. Aku meneriakinya, namun tak ada jawaban, dia akhirnya hilang dibalik kegelapan.
Pandangan ku kembali kabur, angin malam memang tak cocok dengan tubuhku yang lemah ini, semua serasa menghitam dan semakin menghitam, hingga akhirnya aku harus terjatuh lagi, dan kali ini aku benar-benar merasa tak bernyawa.
        *                                                  *                                                     *

                “Apakah hari ini jauh lebih buruk dari kemarin?”
                Mataku terpaku melihat pasar yang hangus, dilumat api. Tak terlihat tanda kehidupan, hanya garis polisi yang terlihat jelas. Mengapa aku disini, Kenapa  aku serasa kembali ketempat dimana aku merasa nyaman,  apa aku melupakan sesuatu?. Aku berlari mengintari tempat itu, dan aku menangis. Tapi aku tak tahu aku menangis untuk apa dan unuk siapa?.
Tuhan sebenarnya apa yang telah terjadi disaat aku koma selama 1 bulan?  Aku takut melupakan semuanya, seperti bintang jatuh.                                                                                           
                                   
                                                                                                 Bila

Siguiente Anterior Inicio

Memories